Matahari bersinar terik menampakkan wajahnya pada dunia. Angin berhembus
menggoyangkan dedaunan, menyejukkan cuaca siang ini. Seorang anak
laki-laki berusia delapan tahun berjalan sendirian dengan seragam
sekolah yang sedikit basah oleh keringat. Di tengah perjalanan pulang,
siswa kelas tiga SD yang bernama Didit itu melihat kakaknya dari
kejauhan sedang duduk berhadapan bersama beberapa anak di suatu warung
makan.
“Kak Gilang, apa yang Kakak lakukan di sini?” tanya Didit
penasaran sambil matanya memperhatikan kelakuan Gilang dengan
teman-temannya. Ada setumpuk kartu beserta uang kertas lima ribuan di
tengah-tengah mereka.
“Anak kecil jangan ikut campur, pulang saja ke
rumah! Bilang sama bunda kalau Kakak pulang telat lagi buat PR di rumah
teman,” bentak Gilang yang sibuk memandangi kartu di tangannya. “Jangan
kasih tahu bunda yang sebenarnya, ingat!”

Didit terdiam lalu perlahan meninggalkan warung dengan kebingungan.
Beberapa hari ini kakaknya memang selalu terlambat pulang sekolah dan
selalu bilang belajar di rumah temannya. Tapi kata Andhika, teman
sekelas Didit, kakaknya itu bermain kartu di salah satu warung yang tak
jauh dari sekolah. Andhika sering melihat Gilang bersama teman-temannya
berkumpul di warung itu sampai sore. Baru hari ini Didit melihat secara
langsung tentang kebenaran perkataan temannya.
Sesampainya di
rumah Didit masuk ke kamarnya dan berganti pakaian. Terdengar seruan
Bunda memanggil namanya menyuruh segera makan siang. Didit pun keluar
kamar menuju ruang makan.
“Bunda mau bicara dengan Didit,” kata bunda
lembut sambil menarik kursi dan mendudukinya . Bunda mendekati anaknya
yang sedang menikmati santapannya dengan lahap.
“Bicara apa Bunda?”
tanya Didit agak gugup. Dia takut bunda akan menanyakan pertanyaan
seperti biasa, di mana kakaknya sekarang dan kenapa belum pulang. Didit
takut untuk berbohong setelah tahu di mana dan apa yang dilakukan oleh
kakaknya.
Ternyata bukan itu yang akan dibicarakan bundanya.
“Begini
sayang, sudah empat hari ini Bunda kehilangan uang di dompet. Dompet
itu Bunda letakkan di lemari, tepatnya di bawah pakaian Bunda. Setiap
hari uang Bunda hilang Rp20.000 loh sayang. Apa Didit tahu siapa yang
mengambil uang Bunda?” tanya Bunda sambil memandangi Didit.
Didit terkejut mendengar perkataan bundanya. “Didit tidak tahu Bunda,”
“Benar
Didit tidak tahu? Bunda lihat di kamar Didit ada dua komik baru juga
ada dua mainan baru. Apakah Didit memakai uang Bunda untuk membelinya?”
“Didit
membelinya pakai uang jajan Didit, Bun. Didit kumpulin selama satu
minggu ini. Didit benar-benar menginginkan komik dan mainan itu jadi
Didit memilih untuk tidak jajan agar bisa membelinya tanpa harus meminta
uang sama Bunda atau sama Ayah,” jelas Didit sedih karena bunda telah
menuduhnya mencuri uang.
Wanita yang masih terlihat muda ini bingung mendengar penjelasan putranya. “Benar begitu? Didit tidak bohong?”
“Iya
Bunda. Didit tidak bohong. Didit tidak berani mencuri. Bunda pernah
berkata sama Didit kalau bohong dan mencuri itu perbuatan dosa. Allah
akan marah sama orang yang bohong dan mencuri. Didit tidak mau Allah
marah sama Didit, Bun.” kata Didit terbata-bata dan perlahan mulai
menangis.
Bunda memeluk Didit ketika dilihatnya tetesan air bening
keluar dari pelupuk mata anaknya. “Iya, iya. Bunda percaya dengan Didit.
Bantu Bunda mencari siapa yang mencuri uang Bunda ya sayang,”
Malamnya
Didit telah menemukan jawaban siapa yang telah mencuri uang bunda. Dia
bertekad malam ini juga ia akan mencari bukti dan akan ia tunjukkan
kepada bunda esok hari. Didit tidak tega sebenarnya. Tapi ia harus
melakukannya agar orang itu jera dan tahu kalau perbuatannya salah.
Sekitar
pukul sebelas malam, Didit bangun dari tidurnya dan keluar kamar dengan
langkah sangat pelan agar tak terdengar. Pandangan matanya tertuju ke
kamar sebelah, kamar kakaknya. Di bukanya pintu kamar itu perlahan.
Tepat seperti dugaan Didit jika kakaknya tidak ada di sana. Kamar itu
kosong. Didit merogoh saku celana piyamanya dan mengeluarkan handphone
nya. Dia menekan tombol dengan cepat setelah itu kakinya melangkah
kembali menuju lantai bawah. Didit menuruni tangga dengan berjinjit agar
langkah kakinya sama sekali tak terdengar.
Tepat di depan pintu kamar orang tuanya Didit berhenti. Dia menarik
nafas kemudian mendorong pintu kamar itu sedikit demi sedikit. Dengan
jelas Didit melihat seseorang sedang membuka dompet bunda dan menarik
selembar uang berwarna hijau. Untung orang itu berdiri membelakangi
pintu jadi tak akan tahu jika Didit sedang melihat perbuatannya. Didit
Segera merekam kejadian itu menggunakan handphone. Kira-kira sudah
cukup, Didit langsung meninggalkan kamar itu. Biip… Biip... Kriing…
Handphone Didit bergetar dan berdering. Dia terkejut mendengar bunyi
alarm dari handphone nya. Didit mempercepat langkahnya menuju tangga dan
segera naik menuju kamarnya. Bisa gawat kalau orang itu mendengar dan
mengejar dirinya.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Didit menemui
bundanya di dapur dan menunjukkan rekaman di handphone nya. Bunda sangat
terkejut tak menyangka ternyata anak pertamanya yang telah mencuri
uangnya. “Bilang sama Bunda dengan jujur, apakah Didit tahu kak Gilang
mencuri uang Bunda untuk apa?”
Didit menceritakan apa yang
dilihatnya setiap melintas di dekat warung makan saat berjalan pulang
dari sekolah. “Didit baru tahu kemarin Bunda kalau Kak Gilang bermain
kartu dengan teman-temannya di warung. Kata Andhika teman Didit itu
adalah judi karena bermainnya memakai uang.”
“Bangunkan kakakmu sekarang, suruh kemari menemui Bunda,” kata Bunda terlihat marah.
Gilang
tertunduk ketika berhadapan dengan bundanya. Mulutnya seakan terkunci
tak bisa mengeluarkan suara saat ia melihat bunda marah dan
menasihatinya. “Maafkan Gilang, Bun. Gilang berjanji tidak akan
mengulanginya lagi,” kata Gilang dengan terbata dan menyesal.
“Selama
satu bulan, Bunda tidak memberi uang saku buat Gilang. Gilang juga
tidak boleh ke mana-mana sehabis pulang sekolah. Ini hukumannya buat
Gilang. Perbuatan Gilang itu sangat salah, merugikan orang lain dan
sangat berdosa. Dari sekaranglah harus belajar untuk tidak mengambil hak
orang lain dan tidak berbohong. Bunda juga tidak mau anak Bunda seorang
penjudi,” ujar Bunda sambil menatap lekat mata anak pertamanya yang
berdiri dengan gemetar.
Anak laki-laki yang telah duduk di bangku kelas enam itu menangis tanpa bersuara.
“Bunda
tidak akan memukul Gilang, juga tidak akan mengatakan ini pada Ayah.
Semoga Gilang sadar kalau perbuatan Gilang akan merugikan Gilang
sendiri. Jadilah anak baik seperti adikmu, Nak.” lanjut Bunda tersenyum
sambil membelai rambut anaknya dan menghapus airmata yang membasahi pipi
Gilang
“Maafkan Didit, Kak. Didit yang merekam perbuatan Kakak
semalam dan menunjukkannya pada Bunda. Bukan Didit mau membuat Kakak
dimarahi, Didit hanya ingin Kakak sadar jika kelakuan Kakak salah,” ujar
Didit yang telah berada di dekat Gilang dan bundanya.
“Tidak
apa-apa, Dit. Kakak memang pantas dimarahi karena telah melakukan
perbuatan yang salah,” balas Gilang yang mulai mau tersenyum.
“Kakak
tenang saja. Selama satu bulan ini, setengah dari uang saku Didit akan
Didit berikan untuk Kakak. Didit tidak tega kalau Kakak sampai tidak
jajan di sekolah. Tapi, Kakak harus janji ya tidak akan berjudi lagi!”
kata Didit sungguh-sungguh.
“Terima kasih adikku, kamu memang anak yang baik,” Gilang membawa Didit dalam pelukannya.
Mendengar perkataan Didit, Bunda jadi terharu. “Bunda ikut berpelukan ya,” kata Bunda pada Gilang dan Didit.
Mereka berdua mengangguk dan berkata, ”Kita seperti Teletubbies dong, tapi kurang satu orang lagi, hahaha….”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar